img-2
Selayang pandang
img-3

Selayang Pandang Desa Kesamben

Desa Kesamben, terletak di Jawa Timur, adalah sebuah desa yang memadukan keunikan tradisi lokal dengan semangat modernisasi. Dikelilingi oleh hamparan sawah yang luas dan pegunungan yang hijau, desa ini menawarkan pemandangan alam yang memukau dan udara yang segar, menjadikannya lokasi yang ideal untuk menikmati ketenangan pedesaan. Masyarakatny ...

Kegiatan ekonomi di Desa Kesamben umumnya berkisar pada pertanian dan peternakan, dengan padi dan jagung sebagai komoditas utama. Selain itu, beberapa warga juga mengembangkan usaha di bidang kerajinan tangan, seperti anyaman bambu dan batik, yang tidak hanya memperkuat ekonomi lokal tetapi juga melestarikan warisan budaya. Pendidikan dan teknologi di desa ini juga terus berkembang, dengan adanya fasilitas pendidikan dari tingkat dasar hingga menengah serta penggunaan teknologi dalam pertanian untuk meningkatkan produktivitas. Desa Kesamben terus berupaya menggabungkan nilai-nilai tradisional dengan inovasi modern, menciptakan sebuah komunitas yang dinamis dan berkelanjutan.

Selamat Datang di Website Desa Kesamben

Kesehatan

Pemerintah Desa Kesamben bersama Polres Blitar melaksanan kegiatan vaksinasi masyarakat Desa Kesamben..

img-6
img-informasi

Pendidikan

Penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) Keluarga Terdampak Covid-19, bulan Desember 2021 di Balai Desa Kesamben Desa Kesamben...

img-6
img-informasi

Bisnis dan Investasi

Pemerintah Desa Kesamben bersama Polres Blitar melaksanan kegiatan vaksinasi masyarakat Desa Kesamben..

img-6
img-informasi

Transportasi

Penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) Keluarga Terdampak Covid-19, bulan Desember 2021 di Balai Desa Kesamben Desa Kesamben...

img-6
img-informasi

Berita Populer

...
Haul Eyang Djugo: Titik Temu Doa, Budaya, dan Ekonomi di Kesamben Blitar

Di kaki Gunung Kawi yang sejuk dan berkabut, ratusan warga berkumpul dalam balutan suasana khidmat. Minggu pagi, 4 Mei 2025, Desa Jugo, Kecamatan Kesamben, kembali menjadi saksi napak tilas spiritualitas dan budaya dalam Haul Eyang Djugo ke-155. Bertempat di Padepokan Eyang Djugo, gelaran ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan pengikat nilai-nilai luhur yang diwariskan seorang tokoh besar: Eyang Djugo. Pemerintah Desa Jugo menggandeng seluruh elemen masyarakat untuk menyukseskan acara tersebut. Tak hanya warga lokal, para peziarah dari berbagai daerah turut hadir. Aroma dupa dan doa-doa tahlil menyatu dalam suasana hening yang nyaris mistis. Di tengah keramaian itu, Bupati Blitar Rijanto berdiri dengan penuh penghormatan. Dalam sambutannya, ia menekankan bahwa haul ini bukan hanya tradisi spiritual, melainkan juga pengingat akan jati diri dan kearifan lokal. Menurut Rijanto, Eyang Djugo mengajarkan nilai-nilai gotong royong, kesederhanaan, dan keimanan yang kokoh. “Kegiatan seperti ini menguatkan ikatan sosial sekaligus menjadi wadah pelestarian budaya,” ujar Bupati. Ia menambahkan, antusiasme warga dan para peziarah juga memberi dampak ekonomi positif bagi desa. Warung makan dan para pedagang kaki lima di sekitar padepokan tampak ramai sejak pagi hari. Lebih dari sekadar peringatan, haul ini juga merupakan refleksi panjang atas perjalanan hidup seorang tokoh spiritual yang misterius namun amat dihormati. Eyang Djugo, yang memiliki nama asli R.M. Soerjokoesoemo—juga dikenal sebagai Kiai Zakaria II atau Mbah Kromodi Redjo—adalah bekas pengawal Pangeran Diponegoro. Pasca kekalahan dalam Perang Jawa, ia menanggalkan identitas kebangsawanannya dan memilih jalan sunyi sebagai seorang pertapa. Sejarah mencatat, ia pertama kali muncul di Desa Jugo dengan cara yang tak biasa: menjelma di hadapan para penggembala dan tinggal di sebuah kandang sapi kosong. Dari sana, ia menyebarkan ajaran spiritual, menyembuhkan penyakit, dan membangun pusat pembelajaran spiritual. Dalam upaya menghindari kejaran Belanda, ia mengubah namanya menjadi Djugo—berasal dari kata Jawa "sajugo", yang berarti sendiri. Kisah penyembuhannya selama wabah kolera di Jawa Timur pada 1860-an menjadi legenda yang tak lekang. Sejarawan lokal, Khalid Adnan, menyebut bahwa metode penyembuhan Eyang Djugo dengan doa dan air berkah masih menjadi tradisi di kalangan masyarakat sekitar. “Tak sedikit orang dari luar daerah datang untuk mencari kesembuhan dari metode warisan beliau,” ujar Khalid. Warisan spiritualnya tak hanya berhenti di Desa Jugo. Setelah wafat pada 22 Januari 1871, Eyang Djugo dimakamkan di Gunung Kawi—yang kini menjadi pusat ziarah lintas budaya dan etnis. Di sana, tiap malam Jumat Legi dan malam 1 Suro, ribuan orang berkumpul untuk berdoa, menyuguhkan sesaji, dan membakar dupa. Tradisi tahlil dan semadi dipimpin juru kunci keturunan Eyang Sudjo, putra angkat Eyang Djugo. Yang menarik, penghormatan terhadap Eyang Djugo juga datang dari komunitas Tionghoa. Di pesarean Gunung Kawi, barongsai dan pembagian angpau menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual haul, terutama saat perayaan Imlek dan Tahun Baru Islam. Bahkan, di beberapa klenteng seperti Kim Tek Ie di Jakarta, Eyang Djugo dipuja sebagai guru agung, menunjukkan betapa inklusifnya ajaran yang diwariskannya. Bagi Pemerintah Kabupaten Blitar, acara seperti ini menjadi medium memperkuat identitas daerah dan memperluas narasi sejarah lokal. Bupati Rijanto dalam keterangannya menekankan pentingnya menjaga "marwah" kegiatan haul agar tetap relevan bagi generasi muda. “Ini bukan sekadar mengenang masa lalu, tapi juga menginspirasi kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan berkontribusi bagi bangsa,” tegasnya. Tak hanya itu, pemerintah desa bersama tokoh masyarakat juga mengusulkan kawasan padepokan dan makam Eyang Djugo untuk menjadi bagian dari destinasi wisata religi yang terintegrasi. Kepala Desa Jugo menyebutkan bahwa proses pengumpulan data dan dokumentasi sedang dilakukan agar kekayaan sejarah ini mendapat pengakuan lebih luas. Haul Eyang Djugo ke-155 telah menjadi penanda bahwa tradisi bukanlah beban masa lalu, melainkan jembatan menuju masa depan yang lebih berakar. Dalam setiap doa yang terlantun, sesaji yang tersaji, dan silaturahmi yang terjalin, masyarakat Jugo dan sekitarnya tak hanya menjaga warisan leluhur—mereka tengah merawat akar jati diri budaya Jawa.

...
Vaksinasi

Pemerintah Desa Kesamben bersama Polres Blitar melaksanan kegiatan vaksinasi masyarakat Desa Kesamben

...
Proyek Jalan Layang di Blitar Gusur Ratusan Makam, Termasuk Puluhan Korban Petrus

Ratusan makam di Dusun Bambang, Desa Siraman, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar, Jawa Timur terdampak proyek jalan layang sehingga harus direlokasi. Dari total 486 makam yang menempati lahan kawasan hutan itu, sebanyak 121 makam merupakan makam korban operasi penembakan misterius era 1980-an dalam periode pemerintahan rezim Orde Baru yang tanpa identitas dan ahli waris.  Kepala Bidang Peningkatan Kapasitas Lingkungan Hidup pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Blitar, Hakim Catur Yulianto mengatakan bahwa proses relokasi pemakaman umum tersebut telah berlangsung sekitar 2 pekan dan ditargetkan tuntas akhir Januari 2025. “Proyek jalan layang ini adalah Proyek Strategis Nasional (PSN) dari Kementerian PUPR. Kami dari DLH diminta mengawal ‘clean and clear’-nya lahan yang kebetulan ada di kawasan hutan,” ujar Hakim melalui sambungan telepon kepada Kompas.com, Rabu (15/1/2025). Kebanyakan makam tersebut, ujarnya, dipindahkan ke lokasi yang berjarak sekitar 50 meter dari lokasi awal meskipun terdapat sejumlah warga yang memilih memindahkan makam anggota keluarga mereka ke lokasi lain. Area pemakaman baru yang menjadi lokasi relokasi, kata dia, masih berada di kawasan hutan yang telah dilepaskan fungsi hutannya menjadi fasilitas umum berupa makam desa. “Untuk makam yang ada ahli warisnya, uang ‘kerahiman’ kami serahkan ke ahli waris. Tapi makam tanpa ahli waris, uang kerahiman kami berikan kepada kelompok masyarakat yang melakukan pemindahan makam,” kata dia.  Hakim mengatakan bahwa terdapat 121 makam di pemakaman umum tersebut yang tanpa identitas dan tanpa ahli waris. Menurut Hakim, 121 makam tersebut merupakan makam korban kecelakaan lalu lintas tanpa identitas serta korban operasi “Petrus” di era 1980-an. “Informasi dari masyarakat setempat, 121 makam tanpa identitas itu merupakan korban laka lantas dan juga korban Petrus tahun 1980-an,” tuturnya. Sejumlah pengamat menyebut “Operasi Petrus” tidak hanya menyasar pelaku kriminal, tetapi juga pembangkang politik terhadap kekuasaan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Ditanya berapa anggaran dari APBN untuk pembangunan jalan layang tersebut, Hakim mengaku tidak mengetahuinya. Ia hanya menyebut jalan layang tersebut berukuran panjang sekitar 140 meter. “Jalan layang di Desa Siraman ini merupakan satu titik saja dari 4 jalan layang yang akan dibangun di jalan nasional dari Brongkos hingga Karangkates,” tuturnya.  Tujuan pembangunan 4 jalan layang tersebut, kata dia, yakni untuk membangun jalur lurus di 4 titik dengan belokan ekstrem di mana sering terjadi kecelakaan lalu lintas. “Di titik-titik tersebut tercatat sering terjadi kecelakaan lalu lintas, terutama truk terguling. Jadi proyek ini ditujukan untuk kelancaran lalu lintas, terutama untuk kendaraan barang,” ungkapnya. Selain jalan layang di Desa Siraman tersebut, lanjutnya, terdapat tiga proyek jalan layang lainnya di jalan nasional penghubung utama Blitar dan Malang, yakni jalan layang Kali Tuwuh, Kali Legi, dan Selorejo.

Berita Terbaru

Polling

Bagaimana layanan informasi pada website ini ?

Saran

Galeri Kegiatan

Video Kegiatan

Instagram

Kontak Kami

Informasi

Lokasi

Jln. Jakgung Suprapto No.1 Kesamben

Email

kesamben@gmail.com

Telepon

Statistika Pengunjung

Hari Ini

4 Pengunjung

Minggu Ini

61 Pengunjung

Bulan Ini

221 Pengunjung

Portal Layanan
26